Masjid
Agung Palembang merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Palembang.
Masjid ini didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud
Badaruddin Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai 1748. Konon masjid ini
merupakan bangunan masjid terbesar di Nusantara pada saat itu.
Masjid
Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan
dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud
Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian
masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal
1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama
dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung
1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf
Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid
Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun
1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta
mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.
Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.
Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.
Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.
Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.
Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.
Masjid
Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam
sejarah Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu
terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat
di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan
Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ,
ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah
menjadi land mark kota hingga sekarang.
Dalam
sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu
menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama
penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas
Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah
beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan
memiliki peran penting dalam praksis dan wacana
Islam.
0 komentar:
Posting Komentar